Dalam dunia farmasi, efektivitas obat tidak hanya ditentukan oleh komposisi bahan aktifnya, tetapi juga oleh kemampuannya mempertahankan stabilitas selama masa penyimpanan dan penggunaan. Oleh karena itu, studi stabilitas obat menjadi aspek fundamental dalam pengembangan, registrasi, dan pengawasan mutu produk farmasi. Tujuannya adalah memastikan bahwa obat tetap aman, efektif, dan berkualitas hingga tanggal kedaluwarsa.
Apa Itu Studi Stabilitas Obat?
Studi stabilitas adalah rangkaian pengujian yang dilakukan untuk menilai bagaimana kualitas suatu produk obat berubah seiring waktu, di bawah pengaruh berbagai kondisi lingkungan seperti suhu, kelembapan, cahaya, dan kemasan. Studi ini dilakukan berdasarkan pedoman dari ICH (International Council for Harmonisation) dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) di Indonesia.
Parameter utama yang diamati dalam studi ini meliputi:
- Potensi (kadar zat aktif)
- pH
- Warna, bau, dan bentuk fisik
- Kandungan produk degradasi
- Stabilitas mikrobiologis
Jenis Studi Stabilitas
- Studi Stabilitas Jangka Panjang (Long-term Stability Testing)
Dilakukan pada suhu dan kelembaban normal yang diwakili oleh kondisi iklim setempat (misalnya 30°C/75% RH untuk Indonesia). Umumnya berlangsung hingga 24 bulan. - Studi Stabilitas Akselerasi (Accelerated Stability Testing)
Dilakukan pada kondisi ekstrem (misalnya 40°C/75% RH) untuk mempercepat proses degradasi dan memperkirakan masa simpan. - Studi Stabilitas Intermediate
Digunakan ketika hasil studi akselerasi menunjukkan degradasi signifikan; dilakukan pada kondisi menengah (30°C/65% RH). - Studi Stabilitas Pasca-Pemasaran
Dilakukan setelah obat dipasarkan untuk memastikan kualitas tetap terjaga dalam kondisi distribusi nyata.
Mengapa Studi Stabilitas Sangat Penting?
1. Menjamin Efikasi dan Keamanan
Obat yang tidak stabil dapat mengalami degradasi yang menghasilkan senyawa toksik atau kehilangan potensi terapi, yang membahayakan pasien.
2. Menentukan Masa Simpan dan Kondisi Penyimpanan
Studi ini memberikan dasar ilmiah dalam menentukan tanggal kedaluwarsa dan instruksi penyimpanan (misalnya “simpan di bawah 25°C” atau “hindari sinar matahari langsung”).
3. Memenuhi Persyaratan Regulasi
Sebelum mendapatkan izin edar, produsen obat wajib menyertakan data stabilitas untuk membuktikan bahwa produk mereka tetap aman dan efektif hingga waktu tertentu.
4. Melindungi Reputasi dan Kepercayaan Pasar
Produk yang tidak stabil dapat menyebabkan penarikan dari pasaran, merusak citra produsen, dan mengurangi kepercayaan konsumen terhadap sistem kesehatan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Obat
- Sifat kimia zat aktif
- Bentuk sediaan (tablet, sirup, injeksi, dll.)
- Jenis kemasan (blister, botol kaca, plastik, dll.)
- Kondisi lingkungan (suhu, kelembaban, cahaya)
- Interaksi dengan bahan tambahan (eksipien)
Peran Apoteker dan Industri Farmasi
- Apoteker memiliki peran penting dalam memastikan obat disimpan sesuai dengan standar, memberikan edukasi kepada pasien, dan melaporkan jika ada obat yang menunjukkan perubahan fisik.
- Industri farmasi bertanggung jawab menyusun program studi stabilitas yang komprehensif dan memantau mutu produk selama siklus hidupnya.
Kesimpulan
Studi stabilitas bukan sekadar prosedur teknis, tetapi merupakan jaminan mutu yang menyentuh langsung keselamatan dan efektivitas terapi pasien. Dalam konteks farmasi modern, studi ini menjadi fondasi dalam menjaga integritas produk obat dari tahap produksi hingga sampai di tangan pasien. Pemerintah, industri, dan tenaga farmasi harus bersinergi dalam menerapkan hasil studi stabilitas secara konsisten agar masyarakat mendapatkan obat yang benar-benar berkualitas.